hidup sehat

hidup sehat
hidup sehat dan hemat tanpa rokok

Rabu, 28 April 2010

Pengertian Nikah


PENDAHULUAN
Nikah merupakan jalan yang paling bermanfa'at dan paling afdhal dalam upaya merealisasikan dan menjaga kehormatan, karena dengan nikah inilah seseorang bias terjaga dirinya dari apa yang diharamkan Allah. Oleh sebab itulah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendorong untuk mempercepat nikah, mempermudah jalan untuknya dan memberantas kendala-kendalanya.
Nikah merupakan jalan fitrah yang bisa menuntaskan gejolak biologis dalam diri manusia, demi mengangkat cita -cita luhur yang kemudian dari persilangan syar'i tersebut sepasang suami istri dapat menghasilkan keturunan, hingga dengan perannya kemakmuran bumi ini menjadi semakin semarak. Melalui risalah singkat ini. Anda diajak untuk bisa mempelajari dan menyelami tata cara perkawinan Islam yang begitu agung nan penuh nuansa. Anda akan diajak untuk meninggalkan tradisi -tradisi masa lalu yang penuh dengan upacara -upacara dan adat istiadat yang berkepanjangan dan melelahkan.


Pengertian Nikah
Dalam buku “Fiqih Wanita” karangan Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, pengertian nikah menurut bahasa, nikah berarti penyatuan. Diartikan juga sebagai akad atau hubungan badan. Selain itu, ada juga yang mengartikannya dengan percampuran. Al-Fara’ mengatakan: “An-Nukh” adalah sebutan untuk kemaluan. Disebut sebagai akad, karena terjadinya kesepakatan itu sendiri. Sedangkan Al-Azhari mengatakan: Akar kata nikah dalam ungkapan bahasa Arab berarti hubungan badan. Dikatakan pula, bahwa berpasangan itu juga merupakan salah satu dari makna nikah. Karena, ia menjadi penyebab adanya hubungan badan. Sementara itu, Al-Farisi mengatakan: “Jika mereka mengatakan, bahwa si Fulan atau anaknya fulan menikah, maka yang dimaksud adalah mengadakan akad. Akan tetapi, jika dikatakan, bahwa ia menikahi isterinya, maka yang dimaksud adalah berhubungan badan.”
Adapun menurut syari’at, nikah juga berarti akad. Sedangkan pengertian hubungan badan itu hanya merupakan metafora saja. Hujjah (argumentasi) atas pendapat ini adalah banyaknya pengertian nikah yang terdapat di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits sebagai akad. Bahkan dikatakan, bahwa nikah itu tidak disebutkan dalam Al-Qur’an melainkan diartikan dengan akad. Sebagaimana firman-Nya: “Sehingga ia menikah dengan laki-laki lain” yang tidak dimaksudkan sebagai hubungan badan. Karena, syari’at hubungan badan yang membolehkan rujuknya seorang suami yang telah menceraikan istrinya hanya diterangkan di dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Dengan demikian, maka firman Allah SWT di atas adalah, sehingga ia menjalin pertalian atau akad. Dengan pemahaman lain, bahwa dengan akad tersebut, maka menjadi boleh pada apa yang telah dilarang.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sendiri menerangkan, bahwa pada kenyataannya nikah itu tidak hanya sekedar akad. Akan tetapi, lebih dari itu, setelah pelaksanaan akad si pengantin harus merasakan nikmatnya akad tersebut. Sebagaimana dimungkinkan terjadinya proses perceraian setelah dinyatakannya akad tersebut.
Abu Hasan bin Faris mengatakan: Nikah tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an, melainkan dengan pengertian kawin. Seperti pada firman Allah SWT: “Ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.” (An-Nisa’: 6)
Rukun Akad Nikah
Akad nikah tidak dapat diadakan, kecuali setelah memenuhi beberapa syarat berikut ini:
a. Kedua belah pihak (calon mempelai) telah mencapai usia akil baligh. Jika salah seorang dari keduanya hilang ingatan atau masih kecil, maka berarti belum mencapai usia baligh, sehingga akad nikah tidak dapat dilaksanakan.
b. Menyatukan tempat pelaksanaan ijab qabul. Dengan pengertian, tidak boleh memisahkan antara ijab dan qabul dengan pembicaraan atau hal-hal lainnya selain. Tidak disyaratkan, pelaksanaan qabul dilakukan langsung setelah ijab.
c. Agar lafadz (penyampaian) qabul tidak bertentangan dengan ijab kecuali pertentangannya itu lebih baik dari yang seharusnya. Yaitu, jika pihak wali mengatakan: Aku nikahkan kamu dengan puteriku, si fulan dengan mahar seratus Junaihah. Lalu si mempelai menjawab: Aku terima nikahnya dengan mahar dua ratus Junaihah. Maka dengan demikian, pernikahan itu telah sah, karena mencukupi dari yang seharusnya.
d. Kedua belah pihak saling mendengar satu dengan lainnya dan memahami, bahwa maksudnya adalah pelaksanaan nikah. Meskipun salah satu dari keduanya tidak memahami kata per kata dari kalimat yang diucapkan (dalam bahasa lain). Karena, yang terpenting adalah tujuan dan niat.
Syarat Bentuk Kalimat Ijab dan Qabul
Mengenai bentuk kalimat ijab dan qabul ini, para fuqaha telah mensyaratkan harus dalam bentuk madhi (lampau) bagi kedua belah pihak. Atau salah satunya bentuk madhi, sedangkan lainnya berbentuk mustaqbal (yang akan datang). Contoh untuk bentuk pertama adalah si wali mengatakan, “Zawwajtuka Ibnatii” (Aku nikahkan kamu dengan puteriku), sebagai bentuk madhi. Lalu si mempelai laki-laki menjawab, “Qabiltu” (Aku terima nikahnya), sebagai madhi juga. Sedangkan contoh bagi bentuk kedua adalah si wali mengatakan: “Uzawwijuka Ibnatii” (Aku akan nikahkan kamu dengan puteriku), sebagai bentuk mustaqbal. Lalu si mempelai laki-laki menjawab: “Qabiltu” (Aku terima nikahnya), sebagai bentuk madhi.
Di lain pihak, bentuk mustaqbal tidak menunjukkan secara pasti persetujuan antara kedua belah pihak tersebut pada saat percakapan berlangsung. Sehingga, jika salah seorang diantaranya mengatakan: “Uzawwijuka Ibnatii” (Aku akan nikahkan kamu dengan puteriku). Lalu pihak yang lain mejawab: “Aqbalu nikahaha” (aku akan menerima nikahnya). Maka, bentuk tersebut tidak dapat mensahkan akad nikah. Karena, kalimat yang dikemukakan mengandung pengertian yang bersifat janji, sedangkan perjanjian nikah untuk masa mendatang belum disebut sebagai akad pada saat itu.
Syarat Sahnya Pernikahan
Syarat sahnya pernikahan adalah syarat yang apabila terpenuhi, maka ditetapkan padanya seluruh hukum akad (pernikahan). Syarat pertama adalah halalnya seorang wanita bagi calon suami yang akan menjadi pendampingnya. Artinya, tidak diperbolehkan wanita yang hendak dinikahi itu berstatus sebagai muhrimnya, dengan sebab apapun, yang mengharamkan pernikahan di antara mereka berdua, baik itu bersifat sementara maupun selamanya. Syarat kedua adalah saksi yang mencakup hukum kesaksian dalam pernikahan, syara-syarat kesaksian dan kesaksian dari wanita yang bersangkutan.
Hukum Nikah
Nikah merupakan amalan yang disyaria’atkan. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT:
“Maka nikahilah wanita-wanita (lainnya) yang kalian senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kalian takut tidak dapat berlaku adil, maka cukup seorang wanita saja, atau budak-budak yang kalian miliki.” (An-Nisa’ : 3)
Demikian juga dengan firman-Nya yang lain:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian serta orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahaya laki-laki dan hamnba-hamba sahaya perempuan yang kalian miliki.” (An-Nur: 32)
Rasulullah SAW pernah bersabda:



“Wahai generasi muda, barang siapa di antara kalian telah mampu serta berkeinginan untuk menikah, maka hendaklah ia menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan mata dan memelihara kemaluan.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Demikian pula dengan sabda beliau yang lain:



“Menikahlah dengan wanita yang penuh cinta dan yang banyak melahirkan keturunan. Karena sesungguhnya aku merasa bahagia dengan banyaknya jumlah kalian di antara para nabi pada hari kiamat kelak.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)
Hukum dasar dari nikah adalah sunat dan berlaku pada seseorang terutama laki-laki yang sudah berkeinginan untuk jima' serta telah mampu untuk menikah.Mampu disini didefinisikan bahwa ia mampu untuk memberi mahar yang layak, menafkahi istrinya dengan makan, minumdan kebutuhan sehari-hari lain dengan cukup, membelikan pakaian , memberi rumah sekemampuannya dan mampu secara fisik untuk melakukan jima'.
Dan sebagaimana hukum lainnya yang berlaku pada manusia maka hukum nikah pun bisa berubah secara kondisional.Nikah hukumnya menjadi wajib apabila seseorang bernadzar untuk menikah selain itu juga ia wajib untuk menikah bila selain dua hal diatas ia juga sudah memiliki keinginan untuk menikah serta telah memiliki calon yang cocok serta takut akan jatuh kepada perbuatan zina bila tidak menikah.
Sementara bila seseorang memiliki hasrat untuk berjima' dan memiliki keinginan untuk menikah tapi tidak memiliki kemampuan maka ia lebih utama untuk tidak menikah sepanjang ia mampu untuk menahan diri untuk tidak berzina.
Hukum nikah juga berubah menjadi makruh pada seseorang yang tidak memiliki kemampuan untuk menikah dan tidak pula memiliki keinginan untuk menikah serta tidak memiliki kecenderungan untuk jatuh ke perbuatan zina .Walaupun secara fisik , psikis maupun usia ia telah dianggap pantas menikah.
Hukum nikah juga bisa jatuh menjadi haram apabila niat salah satu pihak atau pihak ketiga yang menikahkan atau memaksa mereka untuk menikah cenderung pada upaya untuk mencelakakan atau mendzolimi pasangannya.
Dari uraian diatas kita bisa melihat bahwa kelayakan seseorang untuk menikah atau tidak berdasarkan hukum agama tidaklah semata-mata didasari oleh usia , harta dan kemampuan fisik semata tapi juga dilihat dari kesiapan mental berupa keinginan penuh dan keridhaan dirinya beserta pasangannya untuk menikah, bahkan hal inilah yang dianggap lebih utama karena hubungan pernikahan bukanlah semata-mata didasari oleh hubungan fisik dan materi tapi juga emosi dan mental yang mana dalam kehidupan perkawinan memegang peranan yang sangat besar dibandingkan hanya dengan kematangan fisik dan kecukupan harta. Kalaupun dipaksakan maka perkawinan itu akan memiliki kecenderungan menimbulkan mudharat padahal tujuan utama pernikahan adalah mencapai kemashlahatan.

TATA CARA PERKAWINAN DALAM ISLAM
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara perkawinan berlandaskan Al‐Qur'an dan Sunnah yang Shahih (sesuai dengan pemahaman para Salafus Shalih ‐peny), secara singkat penulis sebutkan dan jelaskan seperlunya:
1. Khitbah (Peminangan)
Seorang muslim yang akan mengawini seorang muslimah hendaknya ia meminang terlebih dahulu, karena dimungkinkan ia sedang di pinang oleh orang lain, dalam hal ini Islam melarang seorang muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain (Muttafaq 'alaihi). Dalam khitbah disunnahkan melihat wajah yang akan dipinang (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi No. 1093 dan Darimi).
2. Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi:
a. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
b. Adanya Ijab Qabul.
c. Adanya Mahar.
d. Adanya Wali.
e. Adanya Saksi‐saksi.
Dan menurut sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.
3. Walimah
Walimatul 'urusy hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana mungkin dan dalam walimah hendaknya diundang orang‐orang miskin. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang mengundang orang‐orang kaya saja berarti makanan itu sejelk‐jelek makanan.
Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang orang‐orang kaya saja untuk makan, sedangkan oran‐orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya". (Hadits Shahih Riwayat Muslim 4:154 dan Baihaqi 7:262 dari Abu Hurairah).
Sebagai catatan penting hendaknya yang diundang itu orang‐orang shalih, baik kaya maupun miskin, karena ada sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Artinya : Janganlah kamu bergaul melainkan dengan orang‐orang mukmin dan jangan makan makananmu melainkan orang-orang yang taqwa". (Hadist Shahih Riwayat Abu Dawud, Tirmidzi, Hakim 4:128 dan Ahmad 3:38 dari Abu Sa'id Al‐Khudri).

TUJUAN PERKAWINAN DALAM ISLAM
1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi
Di tulisan terdahulu [bagian kedua] kami sebutkan bahwa perkawinan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang perkawinan), bukan dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara‐cara orang sekarang ini dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.
2. Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur.
Sasaran utama dari disyari'atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur.
Islam memandang perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Wahai para pemuda! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya". (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi).
3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami.
Dalam Al‐Qur'an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq (perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas‐batas Allah, sebagaimana firman Allah dalan ayat berikut :
"Artinya : Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang bail. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang dhalim". (Al‐Baqarah : 229).
Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari'at Allah. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduany sanggup menegakkan batas‐batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al‐Baqarah lanjutan ayat di atas :
"Artinya : Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dikawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk kawin kembali, jiak keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, diternagkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui ". (Al‐Baqarah : 230).
Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari'at Sialm dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari'at ISlam adalah WAJIB. Oleh karena itu setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami, maka ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang ideal :
a. Harus Kafa'ah.
b. Shalihah.
a. Kafa'ah Menurut Konsep Islam
Pengaruh materialisme telah banyak menimpa orang tua. Tidak sedikit zaman sekarang ini orang tua yang memiliki pemikiran, bahwa di dalam mencari calon jodoh putra‐putrinya, selalu mempertimbangkan keseimbangan kedudukan, status sosial dan keturunan saja. Sementara pertimbangan agama kurang mendapat perhatian. Masalah Kufu' (sederajat, sepadan) hanya diukur lewat materi saja.
Menurut Islam, Kafa'ah atau kesamaan, kesepadanan atau sederajat dalam perkawinan, dipandang sangat penting karena dengan adanya kesamaan antara kedua suami istri itu, maka usaha untuk mendirikan dan membina rumah tangga yang Islami inysa Allah akan terwujud. Tetapi kafa'ah menurut Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta ahlaq
seseorang, status sosial , keturunan dan lain‐lainnya. Allah memandang sama derajat seseorang baik itu orang Arab maupun non Arab, miskin atau kaya.
Tidak ada perbedaan dari keduanya melainkan derajat taqwanya (Al‐Hujurat : 13).
"Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang-orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal". (Al‐Hujurat : 13).
Dan mereka tetap sekufu' dan tidak ada halangan bagi mereka untuk menikah satu sama lainnya. Wajib bagi para orang tua, pemuda dan pemudi yang masih berfaham materialis dan mempertahanakan adat istiadat wajib mereka meninggalkannya dan kembali kepada Al‐Qur'an dan Sunnah Nabi yang Shahih.
Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Artinya : Wanita dikawini karena empat hal : Karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih karena agamanya (ke-Islamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan celaka". (Hadits Shahi Riwayat Bukhari 6:123, Muslim 4:175).
b. Memilih Yang Shalihah
Orang yang mau nikah harus memilih wanita yang shalihan dan wanita harus memilih laki‐laki yang shalih. Menurut Al‐Qur'an wanita yang shalihah ialah :
"Artinya : Wanita yang shalihah ialah yang ta'at kepada Allah lagi memelihara diri bila suami tidak ada, sebagaimana Allah telah memelihara (mereka)". (An‐ Nisaa : 34).
Menurut Al‐Qur'an dan Al‐Hadits yang Shahih di antara ciri‐ciri wanita yang shalihah ialah :
"Ta'at kepada Allah, Ta'at kepada Rasul, Memakai jilbab yang menutup seluruh auratnya dan tidak untuk pamer kecantikan (tabarruj) seperti wanita jahiliyah (Al-Ahzab : 32), Tidak berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahram, Ta'at kepada kedua Orang Tua dalam kebaikan, Ta'at kepada suami dan baik kepada tetangganya dan lain sebagainya".
Bila kriteria ini dipenuhi Insya Allah rumah tangga yang Islami akan terwujud. Sebagai tambahan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih wanita yang peranak dan penyayang agar dapat melahirkan generasi penerus umat.
4. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah.
Menurut konsep Islam, hidup sepenunya untuk beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di samping ibadat dan amal‐amal shalih yang lain, sampai‐sampai menyetubuhi istri‐pun termasuk ibadah (sedekah).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah! Mendengar sabda Rasulullah para shahabat keheranan dan bertanya : "Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala ?" Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab :
"Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa .? "Jawab para shahabat :"Ya, benar".
Beliau bersabda lagi : "Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala !". (Hadits Shahih Riwayat Muslim 3:82, Ahmad 5:1167‐168 dan Nasa'i dengan sanad yang Shahih).
5. Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih.
Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam, Allah berfirman :
"Artinya : Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?". (An‐Nahl : 72).1
Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.
Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar. Kita sebutkan demikian karena banyak "Lembaga Pendidikan Islam", tetapi isi dan caranya tidak Islami. Sehingga banyak kita lihat anak‐anak kaum muslimin tidak memiliki ahlaq Islami, diakibatkan karena pendidikan yang salah. Oleh karena itu suami istri
bertanggung jawab mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak‐anaknya ke jalan yang benar.
Tentang tujuan perkawinan dalam Islam, Islam juga memandang bahwa pembentukan keluarga itu sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan‐tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan berdasarkan Islam yang akan mempunyai pengaruh besar dan mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi umat Islam.

Hikmah Pernikahan
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah menciptakan untuk kalian isteri-isteri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Juga dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan saying. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Ar-Rum: 21)
Pernikahan menjadikan proses keberlangsungan hidup manusia di dunia ini berlanjut, dari generasi ke generasi. Selain juga berfungsi sebagai penyalur nafsu birahi, melalui hubungna suami isteri serta menghindari godaan syaitan yang menjerumuskan. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, ia berkata: bahwa Nabi SAW besabda:



“Sesungguhnya wanita itu apabila menghadap ke depan berbentuk syaitan dan menghadap ke belakang juga berbentuk syaitan. Karenanya, jika salah seorang di antara kalian melihat seorang wanita yang menajubkan pandangannya, maka hendaklah ia segera mendatangi isterinya. Yang demikian itu agar dapat mengendalikan gejolak yang ada di dalam dirinya.” (HR. Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi)
Pernikahan juga berfungsi untuk mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan pada asas saling menolong dalam wilayah kasih sayang dan cinta serta penghormatan. Wanita muslimah berkewajiban untuk mengerjakan tugas di dalam rumah tangganya seperti mengatur rumah, mendidik anak dan menciptakan suasana menyenangkan, supaya suaminya dapat mengerjakan kewajibannya dengan baik untuk kepentingan duniawi maupun ukhrawi.8 Juni 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar