hidup sehat

hidup sehat
hidup sehat dan hemat tanpa rokok

Rabu, 28 April 2010

Dampak Lumpur Lapindo dari segi dampak institusi, psikologi dan sosial budaya


Dampak Lumpur Lapindo dari segi dampak institusi, psikologi dan sosial budaya

Daerah Terdampak Lumpur Lapindo
Desa Renokenongo, Siring, Jatirejo, Kedung Bendo, Pajarakan, Mindi, Besuki, Kedung Cangkring, Glagah Arum, Gempolsari, Ketapang, Kali Tengah, Wunut, Pamotan, Kesambi, Kebo Guyang, Permisan. (Semua desa diatas meliputi tiga kecamatan, yakni; Porong, Jabon, dan Tanggulangin di Kabupaten Sidoarjo), dan Desa Gempol (Kabupaten Pasuruan)

Dampak Sosial Budaya

1. Munculnya gelombang pengungsian (internal refugees) di beberapa titik, hingga kini yang mengganggu kenyamanan hidup mereka.
2. Terganggunya sistem layanan pendidikan, yang berakibat tidak maksimalnya proses belajar mengajar bagi anak anak usia sekolah yang menjadi korban Lumpur
3. Terganggunya sistem layanan kesehatan, khususnya bagi warga korban lumpur Lapindo yan berada di camp camp pengungsian
4. Kesulitan warga korban lumpur mencarikan tempat pemakaman, warga korban lumpur Lapindo yang berada di pengungsian, khususnya di pengungsian Pasar Baru Porong.
5. Munculnya konflik horizontal antar warga korban lumpur akibat berbagai factor, khusunya perbedaan kepentingan mengenai ganti rugi.
6. Semakin tingginya tingkat percekcokan keluarga karena mereka hidup dalam keadaan berkeluarga yang tidak normal.
7. Tercerai berainya kehidupan bertetangga, dan berkerabat, disaat warga korban lumpur Lapindo mencari tempat tinggal baru, khususnya bagi mereka yang telah menyepakati mekanisme pembayaran assetnya kepada Lapindo.
8. Tercabutnya hubungan secara fisik antara warga korban lumpur dengan situs situs penting didesanya, dimana situs situs itu telah mengukir banyak kenangan mengenai kisah hidup mereka.
9. Munculnya gelombang pengungsian (internal refugees) di beberapa titik, hingga kini yang mengganggu kenyamanan hidup mereka.

10. Hilangnya Cita-Cita
Kita dapat memahami, sejak awal masyarakat korban Lusi jelas posisinya terhadap kepemilikan rumah, lahan dan tercatat sebagai warga di sana. Karena itu pun pilihan mereka untuk tinggal di sana pasti telah memiliki dan menyusun cita-cita tentang masa depannya. Tapi akibat kejadian semburan lumpur, seolah cita-cita mereka hilang, berbagai rencana yang telah disiapkan warga sebagai sebuah masa depan bubar. Pada kondisi inilah, entah itu warga nantinya siap menerima model resettlement atau kompensasi pemberian uang langsung (cash compensation), akan memaksa mereka membangun cita-cita baru. Tapi dengan tidak kunjung selesainya persoalan ini, cita-citanya makin tidak jelas, demikian juga dengan masa depan mereka. Memang cita-cita juga mengandung sesuatu unsur yang punya ketidakpastian. Tapi dengan tidak kunjung selesainya persoalan ini, ketidakpastian warga makin besar, cita-cita baru yang harusnya sudah mereka miliki pun, belum terpikir. Mereka masih berkutat pada persoalan berapa seharusnya kompensasi ideal yang bisa mereka terima untuk menjadikan hidup mereka di tempat baru kelak, lebih baik dari kehidupan sebelumnya. Karena itulah berkembang pemikiran pada sisi warga untuk menentukan harga lahan yang di luar batas kewajaran. Ini artinya, mereka sesungguhnya bukan hanya tidak ingin pindah dari lokasi di mana dia lahir, besar, dan bermasyarakat serta menggantungkan cita-citanya di wilayah itu, tapi juga warga masih dihantui keraguan terhadap masa depan dan cita-cita barunya, setelah pindah atau tidak lagi bermukim di lokasi yang kini sudah terendam lumpur. Pada sisi inilah seharusnya dipikirkan, bahwa persoalan kompensasi tidak hanya sebatas pada pemberian harga yang jauh lebih baik, tapi juga ada social cost yang perlu diperhatikan dan menjadi bahan pertimbangan. Pada titik inilah maka sesungguhnya model resettlement atau kompensasi pemberian uang langsung (cash compensation), belum menyelesaikan masalah secara keseluruhan. Apalagi, banyak pengalaman membuktikan berpindahnya seseorang pada kasus pembebasan lahan atau penggusuran di banyak tempat, tidak menjamin kehidupannya lebih baik dibanding dengan daerah asal mereka.

11. Konflik keluarga
Dampak semburan tak hanya memicu kegalauan keluarga dengan kepemilikan lahan kecil dengan uang muka 20 persen di bawah Rp 30 juta, seperti keluarga Buali, tetapi juga menembus persoalan domestik. Tak sedikit keluarga yang tergulung konflik, seperti Sudarto (55). Pascasemburan ia kehilangan pekerjaan sebagai karyawan perusahaan kontraktor. Kalau kini tak bekerja, bukan karena ia malas. Ia tak punya pilihan. Seperti dialami Qudori, mantan petugas satpam yang baru bekerja empat bulan, sebelum lumpur Lapindo menenggelamkan pekerjaan dan harapannya. Istri Sudarto, Pujiati (45), tak bisa menerima keadaan suaminya yang menganggur. Pertengkaran sehari-hari pun tak terhindarkan. Delapan bulan lalu mereka berpisah ”rumah”. Pujiati tinggal di los pasar sambil berjualan, sedangkan Sudarto mengungsi di pengungsian kakaknya. Sejumlah pengungsi mengatakan, tak sedikit rumah tangga yang berantakan. Sebagian lagi hidup dalam tekanan jiwa, bahkan ada yang sudah sakit jiwa.






Dampak Institusi Lumpur Lapindo

1. Jumlah bangunan yang terendam meliputi: 10.426 tempat tinggal, 33 sekolah, 4 kantor, 31 pabrik, 65 rumah ibadah (8 masjid dan 57 musholla), 28 TPQ (termasuk 2 ponpes dan 1 panti), dan 3 lainnya tidak jelas.
2. Perincian 33 sekolah yang terendam adalah 6 TK, 3 RA, 11 SDN, 4 MI, 2 SMP, 3 Mts, 1 SMK, 3 MA. Akumulasi personal: 5397 siswa (2.755 laki-laki dan 2.642 perempuan), 405 guru (177 laki-laki dan 226 perempuan), dan 46 karyawan (24 laki-laki dan 22 perempuan).
3. Perincian TPQ yang terendam lumpur adalah:
8 di Porong (dengan 645 santri dan 53 guru), 7 di Jabon (862 santri dan 63 guru), dan 13 di Tanggulangin (1194 santri dan 82 guru). Totalnya mencapai 2701 santri dan 198 guru.
4. Perincian masjid yang terendam lumpur:
Porong dengan 24 buah (3 masjid dan 21 mushola, total luas bangunan dan tanah mencapai 9.347,38 m3), 24 di Jabon (2 masjid dan 22 mushola, total luas bangunan dan tanah mencapai 8.148 m3), dan 17 bangunan (3 masjid dan 57 mushola, total luas bangunan dan tanah mencapai 10.032 m3) di Tanggulangin.
5. Lahan yang terendam lumpur.
Untuk sawah yang diperuntukkan tebu, luas lahan yang terendam adalah 64,015 ha dengan rincian: Renokenongo 7,785 ha, Jatirejo 5,630 ha, Kedung Cangkring 12,700 ha, Mindi 17,300 ha, Pejarakan 17,600 ha, dan Besuki 3,000 ha.
6. Rincian desa yang sawah padinya terendam lumpur: Siring 22,25 ha, Renokenongo 77,35 ha, Kedung Bendo 3,50 ha, Sentul 25 ha, Besuki 79 ha, Pejarakan 36, Kedung Cangkring 29,20 ha, dan Mindi 10,20 ha. Totalnya adalah 311,90 ha. Ada keterangan tambahan bahwa keseluruhan sawah “kelelep” mencapai kl 482,65 ha.
7. Tempat pelayanan kesehatan yang sudah tidak aktif ada 8 yaitu Poskes Jatirejo, Poskes Renokenongo, Poskes Mobile2222, Poskes Kedung Bendo, Poskes PKS, Poskes PAN, Poskes Marinir, dan poskes jalan tol.
8. Ada 33 pabrik yang tidak aktif akibat masifnya efek bencana lumpur Lapindo ini. Puluhan pabrik itu memperkerjakan 2.411 orang.
9. Tenggelamnya 30 pabrik sebagai sumber mata pencaharian warga dengan tenaga kerja berjumlah ribuan.
10. Tenggelamnya sawah dan tambak yang selama ini menjadi mata pencaharian warga di desa desa terdampak
11. Hilangnya tempat usaha usaha sector informal, seperti; pedagang pracangan, tukang ojek dan becak, pedagang keliling, dan usaha-usaha kecil lainnya

Dampak Psikologis
Penanganan psikologis pada para korban lumpur panas Lapindo Brantas Inc tidak banyak dilakukan. Padahal, saat ini sudah banyak warga yang stres, meninggal dunia atau mengalami gangguan jiwa akibat memikirkan nasib mereka yang semakin tidak jelas. Hal ini diungkapkan Sholahudin, salah seorang tokoh masyarakat Jatirejo. Ia mengaku sempat mencatat sebanyak 16 warga Desa Jatirejo meninggal dunia akibat memikirkan nasib mereka. Sedangkan seorang lagi mengalami gangguan jiwa dan saat ini dirawat intensif di rumah sakit jiwa Sumber Porong, Lawang, Malang. Sedangkan puluhan orang lainnya mengalami depresi, stres dan mulai tidak bisa berpikir wajar. “Akibat depresi yang sangat berat, banyak warga yang mudah marah, mudah tersulut emosinya. Bahkan, mereka mudah marah pada anak, istri, juga pada para tetangga. Itu semua dampak psikologis dari banjir lumpur ini,” kata Sholahudin. Meninggal dunia, gangguan jiwa, depresi dan stres itu terjadi karena para korban lumpur panas ini tidak mampu lagi mengendalikan emosi jiwanya, lantaran nasib mereka semakin tidak jelas. Menurut Sholahudin, meskipun warga Jatirejo sudah menyebar ke berbagai wilayah setelah mendapatkan uang kontrak selama dua tahun, tetapi setelah dua tahun mendatang nasib mereka semakin tidak jelas. “Banyak warga yang kehilangan rumah, pekerjaan, para tetangga, wiraswasta di rumah semuanya hancur. Jika jiwa mereka tidak kuat maka akan mengalami depresi yang sangat kuat,” tandasnya. Dia menambahkan, data itu ia dapatkan karena memang ikut mengurusi warga. Sedangkan di luar itu, Sholahudin yakin masih banyak lagi. “Itu hanya yang di Jatirejo, belum yang terjadi di desa-desa lain,” ungkapnya. Saat ini, banyak warga yang setiap hari berlama-lama duduk di atas tanggul hanya untuk melihat dan mengingat-ingat rumah mereka yang sudah tenggelam. Bahkan, ada yang setiap hari membawa kertas dan pensil hanya untuk menggambar bentuk rumah mereka yang dulu pernah ditinggali. “Kami berharap penanganan jangan hanya dalam bentuk fisik, tetapi psikologis warga harus juga ditangani agar mereka tidak semakin merana,” paparnya. Sebelumnya, saat warga masih berada di lokasi penampungan pengungsi, beberapa lembaga psikologis baik dari pemerintah maupun swasta atau perorangan memberikan bantuan psikologis pada warga. Mereka menggelar berbagai permainan pada anak-anak, pelatihan kerajinan pada ibu-ibu pengungsi, serta pelatihan membuat kue kering. Tetapi, setelah warga meninggalkan lokasi pengungsian dan kontrak rumah di lokasi yang terpencar, bantuan psikologis pada mereka hampir tidak ada lagi.

1 komentar: