hidup sehat

hidup sehat
hidup sehat dan hemat tanpa rokok

Selasa, 11 Mei 2010

ciri-ciri birokrasi

Ferdian Dwi Afhami
Adm. Publik

Birokrasi Pemerintahan
1. Birokrasi dalam literatur ilmu administrasi, sering dipergunakan dalam
beberapa pengertian. Sekurang-kurangnya terdapat tujuh pengertian
yang terkandung dalam istilah birokrasi, yaitu:
1. Organisasi rasional (rational organization)
2. Ketidakefisienan organisasi (organizational inefficiency)
3. Pemerintahan oleh para pejabat (rule by official)
4. Administrasi negara (public administration)
5. Administrasi oleh para pejabat (administration by official)
6. Bentuk organisasi dengan ciri-ciri dan kualitas tertentu seperti
hirarki serta peraturan-peraturan.
7. Suatu ciri masyarakat modern yang mutlak (an essential quality
of modern society).
2. Birokrasi adalah keseluruhan organisasi pemerintah yang menjalankan
tugas-tugas negara dalam berbagai unit organisasi pemerintah di
bawah lembaga departemen dan lembaga non departemen, baik di
tingkat pusat maupun daerah, seperti propinsi, kabupaten dan
kecamatan, bahkan pada tingkat kelurahan atau desa.
3. Adanya dua mitos dalam sistem politik Barat tentang birokrasi. Yang
Pertama menganggap birokrasi sebagai sumber keburukan. Harold
J. Laski dalam dalam Encyclopedia of the Social Science
menggambarkan birokrasi sebagai penyebar rutin dalam administrasi,
mengorbankan fleksibilitas demi peraturan yang kaku, mengulurulur
proses pembuatan keputusan dan menolak eksperimen. Mithos
kedua menganggap birokrasi menjalankan peranan pahlawan. Max
Weber merupakan pendukung terkemuka pandangan ini. Ia
menyatakan bahwa birokrasi mampu mencapai tingkat efisiensi yang
paling tinggi dan bentuk administrasi yang paling rasional karena
birokrasi merupakan pelaksana pengendalian melalui pengetahuan.
4. Karakteristik Birokrasi menurut Weber:
1. Jabatan administratif yang terorganisasi/tersusun secara hirarkies
(Administratice offices are organized hierarchically).
2. Setiap jabatan mempunyai wilayah kompetensinya sendiri (Each
office has its own area of competence).
3. Pegawai negeri ditentukan, tidak dipilih, berdasarkan pada
kualifikasi teknik yang ditunjukan dengan ijasah atau ujian (Civil
cervants are appointed, not electe, on the basis of technical
qualifications as determined by diplomas or examination).
4. Pegawai negeri menerima gaji tetap sesuai dengan pangkat atau
kedudukannya (Civil servants receive fixed salaries according
to rank).
5. Pekerjaan merupakan karir yang terbatas, atau pada pokoknya,
pekerjaannya sebagai pegawai negeri (The job is a career and
the sole, or at least primary, employment of the civil servant).
6. Para pejabat tidak memiliki kantor sendiri (The official does not
own his or her office).
7. Para pejabat sebagai subjek untuk mengontrol dan mendisiplinkan
(the official is subject to control and dicipline).
8. Promosi didasarkan pada pertimbangan kemampuan yang
melebihi rata-rata (Promotion is based on superiors judgement).
5. Birokrasi sebagai organisasi dengan ciri-ciri khusus, menjadi pusat
perhatian para ahli berbagai disiplin ilmu sosial karena jasa Max Weber.
Dalam karyanya The Theory of Economy and Social
Organization, Weber mengemukakan konsepnya tentang the ideal
type of bureaucracy dengan merumuskan ciri-ciri pokok organisasi
birokrasi yang lebih sesuai dengan masyarakat modern, yaitu:
1. Adanya suatu struktur hirarkis yang melibatkan pendelegasian
wewenang dari atas ke bawah dalam organisasi (a hierarcical structure involving delegation of authority from the top to the bottom of an organization).
2. Adanya posisi-posisi atau jabatan-jabatan yang mempunyai tugas
dan tanggung jawab yang tegas (a series of official position offices, each having prescribed duties and responsibility).
3. Adanya aturan-aturan, regulasi-regulasi dan standar-standar formal
yang mengatur bekerjanya organisasi dan tingkah laku para
anggotanya (formal rules, regulations and standar governing operation of the organization and behavior of its members).
4. Adanya personil yang secara teknis memenuhi syarat, yang
dipekerjakan atas dasar karir, dengan promosi yang didasarkan
pada kualifikasi dan penampilan (technically qualified personel employed an a career basis, with promotion based on qualification and performance).
6. Peranan birokrasi secara umum dikemukakan oleh Michael G. Roskin
dan kawan-kawan mempunyai fungsi yang meliputi kegiatan-kegiatan
pengadministrasian, pelayanan, peraturan, perizinan, pengumpulan
informasi, dan urusan rumah tangga. Seluruh birokrat pemerintahan
menjalankan setidaknya dua dari fungsi dasar tersebut, dengan sebagian
bekerja secara khusus pada biro tertentu dan sebagian lagi menjalankan
fungsi ganda.
7. Selama masa Orde Baru masalah-masalah yang dialami oleh birokrasi
di Indonesia antara lain:
1.
o Birokrasi di Indonesia lebih banyak mengatur daripada memberikan
pelayanan kepada publik. Karena masih banyak bersikap mengatur,
akibatnya kemitraan (parthnership) atau proses kolaborasi antara
birokrasi dan masyarakat masih dirasakan belum akrab. Sesuai
dengan ramalan Warren Bennis, maka proses kolaborasi itu
merupakan ciri yang menonjol dari birokrasi masa depan.
o Birokrasi Indonesia dewasa ini masih terperangkap pada jaringan
Parkinsonisme.
o Masalah ketiga adalah masih menonjolnya ego sektoral bagi masingmasing
birokrasi departemen.
o Pelaksanaan tiga asas pemerintahan yakni desentralisasi,
dekonsentrasi dan medebewind dalam birokrasi pemerintahan kita
belum profesional. Pada intinya sistem pemerintahan ini mengikuti
sistem desentralisasi. Akan tetapi pelaksanaannya lebih didominasi
oleh pelaksanaan asas dekonsentrasi.
o Birokrasi saat orde baru menempatkan pengembangan karir jabatan
pegawai pemerintah lebih ditekankan pada hirarki atas.
o Sentralisasi yang amat kuat
o Menilai tinggi keseragaman dalam struktur organisasi
o Pendelegasian wewenang yang kabur dalam manajemen
o Kesulitan dalam menyusun uraian tugas dan analisis jabatan yang
semata-mata bersifat teknis
o Kegagalan dalam upaya menerapkan organisasi matriks
o Perkembangan profesionalisme berdasarkan spesialisasi dalam
organisasi yang masih sulit.
o Weberisasi
Weberisasi adalah program untuk mengarahkan birokrasi sehingga
menjadi alat pembangunan yang bekerja secara efisien, rasional,
profesional dan berorientasi melayani masyarakat (public service).
o Parkinsonisasi
Parkinsonisasi merupakan kebijakan menata birokrasi dengan
memperbesar sosok kuantitatif birokrasi.
o Orwellisasi
o Orwellisasi ditunjukkan untuk mendukung pembesaran sosok negara
vis a vis masyarakat, dan pada gilirannya dapat meningkatkan
kapabilitas regulatif negara.
o Jaksonisasi
Istilah ini dikenal untuk konteks Indonesia. Jaksonisasi adalah upaya
untuk menjadi birokrasi sebagai akumulasi kekuasaan negara dan
menyingkirkan masyarakat dari ruang politik dan pemerintahan
sehingga terbentuk apa yang disebut oleh Karl D. Jackson (1980)
sebagai bureaucraty polity.
o Strategi inti, yaitu strategi yang mempunyai tujuan jelas dan
berhubungan dengan fungsi utama pemerintah, yaitu pengendalian.
o Strategi konsekuensi, yaitu strategi yang memaksa para pegawainya
untuk mentaati semua peraturan yang telah ditetapkan.
o Strategi pelanggan, yaitu strategi yang mengutamakan
pertanggungjawaban birokrasi.
o Strategi pengawasan, yaitu strategi yang menempatkan kekuasaan/
wewenang untuk membuat keputusan, yang pada umumnya
kekuasaan tersebut selalu berhubungan dengan puncak hirarki.
Strategi ini mendorong kekuasaan pembuat keputusan secara
signifikan diturunkan berdasarkan prinsip hirarki yang pada akhirnya akan sampai kepada masyarakat.
o Strategi kebudayaan, yaitu strategi yang dipengaruhi keempat strategi
di atas yang berarti dengan mengubah keempat strategi itu maka
budaya akan berubah pula.
8 Dengan mengacu pada birokrasi modern, dalam organisasi birokrasi di
Indonesia terdapat beberapa aspek birokrasi yang dianggap dipengaruhi
oleh kultur di Indonesia. Aspek-aspek tersebut adalah:
9. Birokratisasi adalah proses menuju ciri-ciri prototipikal birokrasi. Dalam
terminologi ilmu politik, dikenal bentuk-bentuk kebijakan birokratisasi
yang umumnya ditemui dalam praktik pembangunan di Dunia Ketiga,
yaitu:
10. Untuk menciptakan pola birokrasi yang mandiri, mampu berpikir dan
independen, diperlukan adanya perubahan-perubahan yang
fundamental, melalui lima strategi berikut, yaitu:
Hubungan Antara Pemerintah dan yang Diperintah (Masyarakat)
1. Kajian mengenai hubungan pemerintahan mencakup pembahasan
mengenai hubungan antara pemerintah dan masyarakat sebagai yang
diperintah. Fungsi pemerintah terhadap perkembangan masyarakat
tergantung pada beberapa hal, yakni filsafat hidup kemasyarakatan dan
filsafat politik masyarakat tersebut.
2. Bentuk hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah secara
konkret dapat dilihat dalam proses pembuatan kebijakan sebab dalam
proses ini, kedua belah pihak dapat saling bertemu serta mendiskusikan
dan memutuskan tindakan yang harus diambil untuk kebaikan bersama.
3. Untuk sebagian besar masyarakat, pengaruh terhadap formulasi dan
pelaksanaan kebijakan pemerintah berbentuk pengaruh yang tidak
langsung, yaitu melalui perwakilan. Ketidaklangsungan hubungan antara
warga dengan pemerintah dapat disebut sebagai jarak yang merupakan
ciri khas pokok dari suatu sistem politik yang muncul pada berbagai
tahap dari proses kebijakan. Pengaruh dari kebanyakan warga terhadap
kebijakan pemerintah bersifat tidak langsung, sedangkan jalan dari
pembentukan keputusan politik kepada warga perseorangan melalui
jalan hirarkis dan birokrasi pemerintah dapat digambarkan sebagai suatu
proses yang panjang dan memakan waktu lama.
4. Dalam bidang pemerintah, masalah pelayanan menjadi sangat penting
karena menyangkut kepentingan umum bahkan kepentingan rakyat
secara keseluruhan karena peranan pelayanan umum yang
diselenggarakan oleh pemerintah melibatkan seluruh aparat pegawai
negeri dalam rangka peningkatan kesadaran bernegara dan
bermasyarakat, sehingga pelayanan kepada masyarakat menjadi suatu
hak, yaitu hak atas pelayanan.
5. Dalam pelaksanaan pelayanan umum terdapat beberapa faktor
pendukung yang penting, diantaranya faktor kesadaran para pejabat
serta petugas yang terkait dalam pelayanan umum, faktor aturan yang
menjadi landasan kerja pelayanan, faktor organisasi yang merupakan
alat serta sistem yang memungkinkan berjalannya mekanisme kegiatan
pelayanan, faktor pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup
minimum, faktor keterampilan petugas, dan faktor sarana dalam
pelaksanaan tugas pelayanan. Keenam faktor itu masing-masing
mempunyai peranan yang berbeda tapi saling berpengaruh dan secara
bersama-sama akan mewujudkan pelaksanaan pelayanan secara baik,
berupa pelayanan verbal, pelayanan tulisan atau pelayanan dalam bentuk
gerakan/tindakan dengan atau tanpa peralatan.
6. Pentingnya peran aparat birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan
dan menunjang keberhasilan pembangunan telah mendorong berbagai
upaya ke arah langkah penyempurnaan. Berkaitan dengan masalah
ini, birokrasi dalam melaksanakan perannya menghadapi tugas ganda
yakni di satu pihak birokrasi harus mampu melakukan kiat-kiat strategis
dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik kepada
masyarakat (outward looking), di lain pihak birokrasi juga harus mampu
meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam lingkungannya
(inward looking).
MEMURNIKAN
PENGERTIAN BIROKRASI
Salah-kaprah tentang pengertian birokrasi;
1. Inefisiensi organisasi
2. Kekuasaan para pejabat
3. Administrasi dalam organisasi negara
4. Masyarakat modern
5. Organisasi rasional (Max Weber)
DILEMA LOYALITAS
PARA BIROKRAT
Rosen (1982): “Loyalitas yang saling bertentangan, yang disebabkan oleh
penentuan prioritas tujuan dan keinginan untuk melakukan kegiatanyang bermanfaat bagi semua orang –kesemuanya membuat dilema etis dan mempengaruhi sistem nilai pribadi bagi seorang administrator”.
Aspek normatif pada pembuat keputusan publik / pejabat negara:
1. Pervasive aspect; tanggungjawab atas kinerja (answerability to performance)
2. Limited aspect; tanggungjawab atas kegiatan dalam organisasi secara pribadi / individual.

Sistem Pertanggungjawaban
Sistem Pertanggungjawaban
Tipe Analogi Kaitan Basis Pertalian

Birokratis

Atasan / Bawahan
Supervisi

Legal
Pengatur /
Pelaksana
Pemimpin / Agen
Perwalian
(Fiduciary)

Profesional Awam / Pakar
Pengakuan
atas keahlian /
kepiawaian

Politis
Pemilih / Wakil Daya tanggap terhadap
konstituen

JENIS-JENIS AKUNTABILITASrt, 1989)
1. Policy Accountability, akuntabilitas atas pilihan-pilihan kebijakan yang dibuat
2. Program Accountability, akuntabilitas atas pencapaian tujuan/hasil dan efektifitas yang dicapai
3. Performance Accountability, akuntabilitas terhadap kinerja atau pelaksanaan tugas sebagai pelayan masyarakat
4. Process Accountability, akuntabilitas atas proses, prosedur atau ukuran yang layak dalam melaksanakan tindakantindakan yang ditetapkan.
5. Probity and Legal Accountability, akuntabilitas atas penggunaan dana
sesuai dengan anggaran yang disetujui atau ketaatan terhadap undang-undang yang berlaku.
Perbincangan tentang netralitas birokrasi akhir-akhir ini menjadi suatu diskursus yang menarik dan mulai mulai mencuat kepermukaan kembali di saat para Menteri pada pemerintahan Gus Dur melakukan penataan pada jajaran Departemen masing-masing. Di awali dengan unjuk rasa sejumlah pegawai di lingkungan Departemen Kehutanan dan Perkebunan yang menolak diangkatnya Sekjen yang baru yang konon bukan dari pejabat karir atau orang dalam, bahkan justru orang dari Partai Keadilan yang kebetulan Presiden Partainya sekaligus adalah sebagai Menteri Kehutanan dan Perkebunan.Berikutnya Menteri Keuangan; Bambang Sudibyo, berkomentar bahwa boleh-boleh saja seorang Menteri mengangkat pejabat di lingkungan departemen dari manapun asalnya, sebab menurutnya; kekuasaan politik pada dasarnya adalah bagi-bagi jabatan. Kemudian munculnya beberapa nama yang berasal dari orang-orang partai untuk menduduki jabatan Direktur Pertamina, serta masih banyak fenomena lain yang akhirnya orang sampai pada suatu pembahasan dan pertanyaan ; apakah birokrasi harus seteril dari kepentingan politik tertentu ?
Sebenarnya persoalan netralitas birokrasi sudah menjadi pembicaraan lama di antara para ahli. Kritik Karl Mark terhadap filsafat Hegel tentang negara sedikitnya menggambarkan bahwa posisi ke-netralan birokrasi menjadi sesuatu yang penting, sekalipun dalam kritiknya, Mark hanya merubah "isi" dari teori Hegel tentang tiga kelompok dalam masya-rakat; yaitu kelompok kepentingan khusus (particular interest) yang dalam hal ini diwakili oleh para pengusaha dan profesi, kemudian kelompok kepentingan umum (general interest) yang diwakili oleh negara dan kelompok ketiga adalah kelompok birokrasi. (Miftah Thoha: 1993)
Mark menyatakan bahwa birokrasi sebaiknya memposisikan dirinya sebagai kelompok sosial tertentu yang dapat menjadi instrumen dari kelompok yang dominan/penguasa. Kalau sebatas hanya sebagai penengah antara negara yang mewakili kelompok kepentingan umum dengan kelompok kepentingan khusus yang diwakili oleh pengusaha dan profesi, maka birokrasi tidak akan berarti apa-apa. Dengan konsep seperti ini berarti Mark menginginkan birokrasi harus memihak kepada kelompok tertentu yang berkuasa.
Masa depan dan kepentingan birokrasi menurut konsepsi Marxis pada tingkat tertentu menjalin hubungan yang sangat erat dengan kelas dominan dalam suatu negara. Di sinilah netral atau tidaknya suatu birokrasi sudah ramai di bahas. (Miftah Thoha; 1993).
Sedangkan Hegel dengan konsep tiga kelompok dalam masyarakat di atas menginginkan birokrasi harus berposisi di tengah sebagai perantara antara kelompok kepentingan umum yang dalam hal ini diwakili negara dengan kelompok pengusaha dan profesi sebagai kelompok kepentingan khusus. Jadi dalam hal ini birokrasi, menurut Hegel harus netral.
Dikotomi antara politik dan administrasi
Konsep lain tentang birokrasi adalah dari Wilson (1887) dan Goodnow (1901); keduanya menyatakan perlunya memisahkan antara administrasi dengan politik yang arahnya adalah menjaga agar masing-masing bertugas dan berfungsi sebagaimana mestinya. Administrasi sebagai lembaga implementasi kebijakan, sedang politik sebagai lembaga pembuat kebijakan. (Muhajir Darwin;1995)
Sebagai lembaga pelaksana kebijakan politik, birokrasi menurut Wilson dalam kaitan dengan ke-netralannya berada di luar bagian politik. Sehingga permasalahan administrasi/birokrasi hanya terkait dengan persoalan bisnis dan harus terlepas dari segala urusan politik (the hurry and strife of politics).(Miftah Thoha; 1993)
Konsep dasar yang diletakkan oleh Wilson ini kemudian diikuti oleh para sarjana ilmu politik lainnya seperti ; D.White (1926), Willoughby dan juga Frank Goodnow. Goodnow sendiri mengatakan bahwa ada dua fungsi pokok pemerintah yang amat berbeda satu sama lain, yaitu politik dan adiministrasi. Politik menurut Goodnow harus membuat dan merumuskan kebijakan-kebijakan, sementara administrasi berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan. (Miftah Thoha; 1993)
Birokrasi di Indonesia
Birokrasi di Indonesia mengalami sejarah yang cukup beragam sejak masa kemerdekaan tahun 1945. Pada masa awal kemerdekaan, ada semacam kesepakatan pendapat bahwa birokrasi merupakan sarana politik yang baik untuk mempersatukan bangsa. Anggapan ini beralasan karena hanya birokrasilah satu-satunya sarana yang dapat menjangkau rakyat sampai ke desa-desa. Semangat kejuangan masih sangat kental mewarnai birokrasi di Indonesia. Para birokrat masih menggelora semangatnya untuk berjuang demi negara dan persatuan bangsanya, sehingga tidak jarang kelompok mayoritas mau mengalah terhadap minoritas demi kesatuan dan persatuan bangsa. Semangat primordial untuk sementara dapat dikesampingkan oleh semangat nasional. Satu-satunya organiosasi politik yang bersifat primordial yang mengancam negara dan bangsa Indonesia adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka melakukan pemberointakan untuk menguasai birokrasi pemerintah dan sekaligus mengganti pemerintah yang sah.
Pada perjalanan masa berikutnya, birokrasi kita mulai dihainggapi oleh aspirasi primordial yang kuat. Birokrasi Pemerintah mulai menjadi incaran dari kekuatan-kekuatan politik yang ada. Partai-partai politik mulai melirik untuk menguasai birokrasi pemerintah. Bahkan pada antara tahun 1950-1959, birokrasi pemerintah berada dibawah kepemimpinan partai politk yang menjadi mayoritas di lembaga DPR. DPR menjadi kuat, tapi sebaliknya lembaga Eksekutif di mana birokrasi sebagai pelaksana politik menjadi semakin lemah. Hal demikian diakibatkan oleh parta-partai politik yang berdiri pada waktu itu sebagai akibat dari adanya Maklumat 3 Nopember 1945 yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mendirikan partai politik sesuai dengan aspirasinya. Akhirnya partai-partai beramai-ramai ingin menguasai berbagai departemen maupun kementerian, bahkan tidak jarang terjadi jatuh bangunnya Kabinet pemerintah hanya dikarenakan oleh tidak meratanya pembagian kementerian yang diinginkan oleh partai-partai. Pada masa ini pula birokrasi mempunyai loyalitas ganda; satu segi kepada partai politik yang didukungnya dan pada sisi lain kepada masyarakat yang dilayaninya.
Kemudian pada masa antara tahun 1960 – 1965 birokrasi menjadi incaran kekuatan politik yang ada. Pada saat itu ada tiga kekuatan politik yang cukup besar yaitu, nasionalis, agama dan komunis (Nasakom) yang berusaha berbagi wilayah kekuasaan atau kaplinganya pada berbagai Departemen. Di bawah label Demokrasi Terpimpin, tiga kekuatan politik tersebut membangun akses ke birokrasi pemerintah. Keadaan sistem politik yang primordial membawa pengaruh kuat terhadap birokrasi, sehingga birokrasi pemerintah sudah mulai nampak ke-pemihakannya kepada kekuatan politik yang ada. Lebih tepat dapat dikatakan bahwa birokrasi birokrasi saat itu sudah terperangkap ke dalam jaring perangkap yang dipasang oleh kekuatan politik Nasakom. Hal ini dapat dilihat pada saat meletusnya peristiwa G.30 S/PKI kekuatan komunis telah masuk hampir di seluruh departemen pemerintah, sementara kekuatan nasionalis dan agama hanya mendominasi sebagian kecil dari departemen-departemen yang ada.
Kemudian pada masa antara 1965 sampai masa Orde Baru (Era pemerintahan Soeharto), birokrasi lebih jelas kepemihakannya kepada kekuatan sosial politik yang dominan; dalam hal ini Golkar.
Salah satu faktor yang menentukan kemenangan Golkar pada enam kali pemilu (sampai 1997) adalah karena peranan birokarsi yang cukup kuat. Kesadaran politik di masa awal kemerdekaan yang memandang birokrasi sebagai alat pemersatu bangsa yang sangat ampuh, rupanya dipakai pula pada masa tersebut.
Politik floating-mass (masa mengambang) men-jadikan birokrasi dapat menjangkau ke seluruh wilayah pelosok desa-desa di tanah air kita ini. Hal ini merupakan potensi kemenangan yang diraih Golkar untuk menguasai birokrasi, apalagi birokrat diperbolehkan untuk menggunakan hak pilihnya (men-jadi peserta pemilu) yang pilihannya tidak ada lain kecuali harus memilih Golkar sehingga dengan demikian birokrasi identik dengan Golkar.
Dengan menggunakan model 3 jalur yang dikenal dengan jalur ABG (ABRI, Birokrasi dan keluarga Golkar) semakin jelas mengisyaratkan bahwa birokrasi sudah terpolitisir oleh satu kekuatan politik tertentu. Mulai dari Presiden, Menteri, Gubernur dengan segala jajaran di bawahnya duduk di kepengurusan Golkar menunjukkan betapa sulitnya membedakan antara pemerintah (birokrasi) dan politik (Golkar).
KORPRI yang diharapkan menjadi wadah aktifitas kedinasan seluruh pegawai negeri yang keberadaannya tidak berafiliasi kepada satu kekuatan politk apapun, namun betapa sulitnya mem-pertahankan kenetralannya manakala melihat hanya Golkarlah satu-satunya kekuatan sosial politik yang mempunyai akses ke birokrasi sedang kekuatan politik yang lain hanya berada di luar garis.
Angin reformasi mulai bergulir sejak rejim Soeharto jatuh, dan muncul Habibi menggantikannya. Namun kondisi birokrasi kita tidak jauh berubah, karena semua tahu bahwa naiknya Habibi menggantikan Soeharto adalah didukung sepenuhnya oleh Golkar. Kemudian Habibi digantikan oleh duet Gus Dur-Mega memunculkan nuansa baru dibidang pemerintahan termasuk birokrasi, karena pemerintahan Gus Dur disusun atas dasar kompromistis dari hampir semua kekuatan politik yang ada sehingga memunculkan apa yang kemudian dikenal dengan Kabinet Persatuan Nasional, di mana para menteri yang duduk di dalamnya terdiri dari unsur partai politik besar yang memperoleh suara signifikan dalam pemilu 1999. Dari sinilah kemudian wacana tentang birokrasi menjadi marak kembali.
Kondisi birokrasi Indonesia antara teori dan praktek
Konsep netralitas birokrasi sangat erat dengan perkembangan analisis sosial dan politik hampir dua abad yang lalu. Konsep itu terpusat pada analisis dan buah pikiran para pemikir klasik seperti Karl Mark, Max Weber, Jhon Stuart Mill, Gaestano Mosca dan Rober Michels. (Fischer & Sirriani; 1984)
Sekitar abad ke 20, konsep netralitas organi-sasi birokrasi menjadi sangat penting dalam kehidupan sosial politik modern. Para penulis di tahun 30-an mulai lantang berbicara tentang managerial revolution dan konsep baru tentang birokrasi dunia (bureaucratization of the world). Berbarengan dengan itu mereka juga ingin tahu sampai di mana peranan birokrasi dalam perubahan-perubahan besar dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik pada zaman yang semakin maju ini. (Miftah;1993)
Kemudian bila dibandingkan dengan kondisi birokrasi di Indonesia khususnya pada era Orde Baru yang berjalan hamipr 32 tahun di mana jelas bahwa birokrasi sudah menampakkan keberpihakannya kepada satu kekuatan politik tertentu (Golkar) sebenarnya juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah politik Orde Baru itu sendiri.
Ketika Orde Baru lahir, kehidupan kepartaian kita dalam kondisi dan situasi yang sangat memprihatinkan. Ini disebabkan oleh strategi pembangunan politik orde lama di mana PKI merupakan satu-satunya partai politik yang tetap eksis dengan fungsinya. Sedangkan parta-partai lain satu persatu hilang, baik secara alamiah atupun karena tidak sesuai dengan Bung Karno sebagai Presiden yang sekaligus sebagai Panglima Tertinggi dan menyatakan dirinya juga sebagai Panglima Besar Revolusi waktu itu yang mengeluarkan gagasan JAREK (jalannya revolusi kita)
Dalam keadaan seperti itu masyarakat sangat merindukan terciptanya satu situasi yang memungkin-kan kepentingan mereka tersalurkan dan terwakili melalui partai politik. Situasi yang demikian dibaca oleh rejim baru, sehingga begitu orde lama tumbang, orde baru berusaha untuk memulihkan keadaan dengan mengetrapkan dua strategi dasar:
Pertama: menjadikan tentara/ABRI sebagai ujung tombak demokrasi dan pemegang kemdali pemerintahan ditopang oleh birokrasi yang kuat dan terlepas dari ikatan kepartaian konvensional/tradisional.
Kedua: menitik beratkan pembangunan ke arah rehabilitasi ekonomi. (Sunardian W.:1994)
Dua strategi tersebut jelas akan memerlukan stabilitas dengan segala resikonya yang dalam banyak hal akan merugikan bagi parpol non-pemerintah. Dalam kerangka inilah ABRI kemudian mendirikan Sekretariat Bersama Golongan Karya (SEK-BER GOLKAR) pada tahun 1964 sebagai embrio bagi partai pemerintah (partai pelopor seperti konsep Presiden Soekarno) (Sunardian W.:1994)
Dari sini kita melihat bahwa politik orde baru berusaha menciptakan iklim politik yang mendukung tgumbuh suburnya kembali partai-partai politik, namun tetap berada di bawah kontrol birokrasi sehingga tidak akan menggoyahkan stabilitas nasional.
Faktor lain yang juga dapat disebut adalah tulisan Dr.Muhajir Darwin yang menyatakan bahwa ; sejarah birokrasi di Indonesia di jaman kerajaan dahulu pernah meletakkan para birokrat (kaum ningrat dan abdi dalem) sebagai instrumen untuk melayani kepentingan raja. Kemudian datang penjajah atau para kolonial yang mengembangkan birokrasi model Weberian (secara rasional) untuk memenuhi kepentingan negara penjajah.Setelah kemerdekaan diperoleh, birokrasi menjelma sebagai organisasi modern dan besar di tengah masyarakat yang belum terbiasa berorganisasi secara modern.Disamping itu birokratisasi di Indonesia berkembang tanpa didahului oleh demokrasi seperti kebanyakan yang terjadi di negara-negara berkembang lainnya.(Muhajir,:1996)
Implikasi kepemihakan birokrasi
Melihat perjalanan sejarah birokrasi di Indonesia yang seperti di atas tadi, maka sulit kiranya (bila biorkrasi tidak benar-benar netral) mewujudkan proses kontrol yang efektif terhadap birokrasi, menciptakan proses check and balance dalam mekanisme politik. Sebab dengan model; birokrasi = kekuatan politik tertentu/dominan dan sebaliknya, birokrasi akan bebas meniadakan fungsi kontrol terhadap hak-hak politik warga negara; sebagai contoh (era orde baru) lembaga LITSUS paling efektif untuk mengebiri hak-hak politik warga negara dengan menggunakan justifikasi politis yaitu "stabilitas politik" dan alasan ini adalah paling tepat dan mudah digunakan karena sejauh itulah yang dipercaya sebagai faktor yang mendukung keberhasilan pembangunan Indonesia selama kurun waktu 30 tahun terakhir ini.
Namun memihaknya birokrasi pemerintah kepada kekuatan politik atau pada golongan yang dominan membuat birokrasi tidak steril. (Miftah; 1993) Banyak virus yang terus menggrogotinya seperti ; pelayanan yang memihak, jauh dari obyektifitas, terlalu birokratis (bertele-tele) dan sebagainya, akibatnya merteka merasa lebih kuat sendiri, kebal dari pengawasan dan kritik.
Sedang sebagai lembaga pelayanan publik,agar pelayananannya kepada masyarakat dan pengabdiannya kepada pemerintah lebih fungsional, maka birokrasi perlu netral; dalam penegertian mereka tidak memihak kepada atau dari satu kekuatan politik tertentu yang dominan. Selain itu agar peranan birokrasi pemerintah dapat lebih berarti. Sepanjang masih membuka kesempatan dan mengharagai kritik dan kontrol, sebaiknya birokrasi pemerintah perlu diberi peran juga dalam keterlibatannya membuat proses kebijakan atapun keputusan.

3 komentar:

  1. salam,sejahtra bagi penulis yang budiman krn sudah memberi manfaat bagi pembaca
    dan bagi yang ingin merobah masa depan baik.Amin

    BalasHapus
  2. Thank's telah berbagi, mabruk....

    BalasHapus